Dualisme Wajah Negara: Pengatur atau “Perusak” Lingkungan


Banyak ilmuwan telah dikaitkan pertumbuhan kekuatan negara modern dengan perkembangan kapitalisme global misalnya Wallerstein, (1974),  Wolf (1982), Johnston (1989) dan  Blaut (1993). Argumen utamanya adalah bahwa aktor seperti negara itu diperlukan untuk menyediakan barang publik yang beragam, mulai dari keamanan umum dan memenuhi kebutuhan finansial untuk infrastruktur sosial dan fisik (jalan, pendidikan, kesehatan, dll). Dan bahwa tanpa intervensi seperti dalam sistem kapitalis maka tidak akan terjadi kemakmuran karena sistem kapitalis itu yang akan mampu mengakumulasi modal (aktivitas kunci dalam sistem kapitalis).

Johnston (1989: 70) menyatakan ‘harus ada negara untuk melakukan hal-hal “tertentu”, jika tidak, maka kapitalisme akan gagal. Negara dengan demikian merupakan kebutuhan kelembagaan di bawah sistem kapitalis, karena tanpa kehadirannya dalam anarki Hobbes akan menghambat terjadinya akumulasi modal. Dari perspektif ini, munculnya negara dapat terlihat menjadi kasus lembaga yang berada ‘di tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat’. Untuk alasan ini, negara dipandang oleh banyak sarjana (termasuk politik ekologi: misalnya, Watts, 1983a; O’Brien, 1985) harus terkait erat untuk kemajuan kapitalisme sebagai cara produksi.

Namun demikian, bahwa negara modern terkait erat dengan kapitalisasi pembangunan tidak berarti bahwa negara tidak memiliki kepentingan dengan sumber kekuasaan. Meskipun memang negara sering memiliki jalan ekonomi politik sendiri, dan kepentingan strategis yang berasal dari posisi sosial-spasial yang unik di persimpangan tatanan politik dalam negeri dan sistem antar negara (Skocpol, 1985; Mann, 1986). Ini berarti dalam prakteknya kepentingan negara dan kapitalis tidak selalu berjalan berdampingan. Misalnya adalah upaya negara untuk mempromosikan konservasi lingkungan selektif dalam menghadapi oposisi bisnis. Sering kali konflik yang ada bukan pada apakah sumber daya lingkungan itu dieksploitasi untuk komersial, tetapi lebih pada kondisi di mana eksploitasi tersebut terjadi yaitu untuk pembatasan penebangan untuk memastikan produksi jangka panjang.

Subjek negara dalam konteks lingkungan telah menimbulkan banyak pesimisme di kalangan ilmuwan. Misalnya, Johnston (1989) berpendapat bahwa peran negara sebagai fasilitator dari mata rantai sistem kapitalis yang menjadi aktor untuk masalah lingkungan kontemporer merupakan produk sampingan dari sistem itu sendiri. Namun negara juga menjadi aktor kunci yang terlibat dalam menemukan solusi untuk masalah-masalah lingkungan, meskipun sebagian besar dihambat dalam kegiatannya karena lebih terikat pada kepentingan kapitalis. Walker (1989: 32) menambahkan bahwa ‘negara secara eksplisit bertanggung jawab pada pengelolaan sumber daya hayati dan fisik, secara efektif tidak dapat dihindari, namun tidak pernah diterima secara utuh dalam sistem kapitalis.

Negara telah merusak lingkungan atas nama pembangunan. Negara telah begitu merusak lingkungan harus diakui sebagai paradoks sentral dalam fungsi negara. Sehingga ada potensi konflik yang terus melekat antara peran negara sebagai pengguna, dengan sebagai pelindung dan pelayan lingkungan yang pada akhirnya kehadirannya sangat menentukan (Walker, 1989: 32). Negara juga berkontribusi pada upaya untuk memaksimalkan ekstraksi sumber daya alam dan sangat tergantung pada produksi dan ekspor produk primer.. Di dunia ketiga, negara telah menekankan ekstraksi sumber daya alam untuk ekspor terutama ke Dunia Pertama, seperti kayu, mineral, pertanian dan perikanan. Pada saat yang sama proses ini juga memiliki pengaruh mempercepat marginalisasi politik dan ekonomi akar rumput di negara dunia ketiga.

Kemudian, pengembangan industri yang disponsori oleh negara juga dikaitkan dengan polusi dan kerusakan udara, tanah  dan air yang timbul dari proses industri manufaktur itu sendiri. Negara dunia ketiga telah melakukan banyak upaya untuk menarik investasi dari perusahaan transnasional dan membangun industri lokalnya. Dengan demikian tidak mengherankan bahwa sebagian besar negara telah menunjukkan sedikit kecenderungan untuk mengatur proses industrialisasi dan pengelolaan emisi di dalam wilayahnya. Perkembangan masalah pencemaran yang semakin parah di banyak kota dunia ketiga pun terjadi. Padahal kota memiliki peran utama sebagai sebagai  pemberi perlindungan dari polusi. Oleh karena itu  Leonard (1988) mempromosikan kebijakan khusus pada pertumbuhan kota bahwa pembangunan ekonomi yang dilakukannya harus lebih mengutamakan konservasi lingkungan