Kendala Swasembada Daging Sapi dan Kerbau
dalam Rangka Pencapaian Ketahanan Pangan Indonesia
Pada tahun 2005 pemerintah melalui Kementerian Pertanian
mencanangkan Program swasembada daging sapi yang bertujuan untuk memenuhi
permintaan konsumsi daging sapi yang tinggi oleh masyarakat Indonesia. Namun
implementasi program ini belum berhasil, maka dilanjutkan lagi pada tahun 2010
dan program ini juga belum berhasil. Pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan
kembali program untuk mewujudkan swasembada daging sapi yaitu Program
Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK 2014), yang merupakan program lanjutan
dari program swasembada tahun 2005 dan program percepatan swasembada daging
sapi 2010 (P2SDS 2010). PSDSK 2014 merupakan satu dari beberapa program unggulan
dari Kementerian Pertanian dengan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan asal
hewani yang berbasis penggunaan ternak lokal atau sumber daya domestik yang
berkelanjutan, dimana mempunyai arti swasembada yang ingin dicapai yakni
swasembada yang tidak hanya terjadi pada tahun 2014 namun juga berswasembada
pada tahun-tahun berikutnya. Dengan program swasembada daging ini akan
memberikan dampak positif yang banyak kedepannya. Bagi peternak dan masyarakat
program swasembada ini mampu menyerap tenaga kerja yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan peternak dan berdampak positif bagi perekonomian
ditingkat desa dan mampu merubah pola pikir bahwa dengan adanya efek positif
dari program ini, desa bukanlah lumbung kemiskinan lagi. Dari segi
pemerintahan, swasembada ini mampu mengurangi cadangan devisa Negara, karena
kebijakan impor tidak lagi dibutuhkan karena seiring dengan pemenuhan
penawaraan masyarakat sudah terpenuhi dari produksi daging dalam negeri.
Namun pada kenyataannya program swasembada daging sapi dan
kerbau juga belum mencapai titik keberhasilan yang nyata. Maka dari itu, perlu
diketahui dengan cara mempelajari dan memahami program swasembada daging 2005
dan program percepatan swasembada daging 2010 bahwa ada beberapa alasan yang
menjadi permasalahan didalam pelaksanaan program ini antara lain: pertama
Tataniaga perdagangan yang belum tertata dengan baik. Tataniaga merupakan hal
yang penting dalam penentuan pendistribusian harga, semakin banyak rantai
tataniaga dalam suatu perdagangan barang, maka biaya distribusinya juga akan
semakin meningkat, dan ini akan berdampak kepada kenaikan harga barang
tersebut. Dalam system perdagangan daging Indonesia pada umumnya belum tertata
dengan baik, maka dalam hal pendistribusikan daging sapi dalam negeri akan
lebih mahal dari pada daging impor. Banyaknya perantara dari rumah potong hewan
sampai ke pasaran menyebabkan banyak jumlah atau biaya yang akan dikeluarkan
kesetiap perantara sampai kepengecer terakhir. Dan apabila nilai yang
dikeluarkan dihitung untuk mengirim daging dari Jakarta ke wilayah timur
Indonesia akan mempunyai nilai yang lebih besar jika dilakukan impor daging
dari luar negeri. Untuk mengurangi pengeluaran biaya yang besar maka dari itu
pengusaha atau penjual lebih berpihak kepada impor dari luar negeri, dengan
cara demikian akan memperpendek system tataniaga daging sapi sehingga harga
daging akan cenderung lebih murah dari pada pasar didalam negeri. Menurut
Vanzetti (2010), selain memperpendek system tataniaga daging sapi juga perlu
diketahui bahwa ada biaya spesifik yang dikeluarkan pemerintah yaitu berupa
biaya redistribusi daerah. Biaya redistribusi akan mempengaruhi harga ternak
dan daging sapi, ini yang menjadi hambatan perdagangan didalam negeri.
Permasalahan yang kedua yakni: partisipasi peternak yang
kurang dalam kegiatan program yang diadakan pemerintah. Kebanyakan peternak
rasional didalam usaha ternak yang dilakukannya, peternak akan cepat merespon
jika ada perubahan harga yang naik. Peternak akan menjual ternaknya jika
permintaan di pasaran sedang naik, ternak yang dijual tanpa memperhatikan sapi
yang produktif dengan sapi yang tidak produktif. Dengan demikian dapat
diketahui dengan pasti bahwa peternak hanya akan memikirkan keuntungan yang
lebih besar tanpa berfikir dampaknya akan ketersediaan populasi sapi yang ada.
Inilah salah satu faktor kendala atau faktor kegagalan dari program swasembada
daging yang dicanangkan pemerintah. Faktor lain yang menjadi akar permasalahan
ini juga terletak di pemerintah yakni kurang aktifnya pemerintah yang kali ini
diwakili oleh tenaga-tenaga penyuluh pertanian dilapangan dalam menyampaikan
informasi ke peternak. Dengan adanya pembelajaran dari penyuluh kepada peternak
dan sekaligus membina peternak tentang pengetahuan beternak yang baik maka
dapat dipastikan para peternak akan berfikir ulang untuk menjual ternak yang
produktif untuk dipotong.
Kendala selanjutnya yang menjadi permasalahan didalam
pencapaian swasembada daging yaitu akses transportasi yang sulit. Indonesia
merupakan Negara kepulauan, maka akses antar pulau harus tersedia dengan cukup
baik. Hal ini akan berdampak kepada penyebaran produk-produk pertanian. Kendala
dilapangan cukup banyak sekali jika dikaitkan dengan akses transportasi,
masalah transportasi merupakan masalah massal untuk semua sektor bidang
terutama terkait pasokan-pasokan kedaerah yang membutuhkan transportasi yang
memadai serta sarana dan prasarana yang mendukung. Baik dan buruknya
infrastruktur akan berpengaruh langsung terhadap ketahanan pangan. Tranportasi
darat, laut dan udara memiliki peran yang penting dalam membawa produk-produk
peternakan dari daerah yang surplus produksi ke daerah yang membutuhkan.
Faktor lain yang dapat menjadi
permasalahan dalam pencapaian swasembada daging yaitu tingginya harga pakan
ditingkat peternak. Pakan merupakan hal yang paling terpenting setelah bibit
didalam usaha peternakan. Biaya pakan yang tinggi merupakan salah satu penyebab
kelangkaan daging sapi, karena dengan mahalnya harga pakan, peternak hanya
mampu memelihara 2-3 ekor sapi didalam usaha yang dilakukannya. Pemani (2011),
Tingginya harga pakan di tingkat peternak dapat dikaitkan dengan ketersediaan
lahan untuk sektor peternakan, seperti lahan untuk memproduksi tanaman hijauan
makanan ternak. Keterbatasan lahan hijauan makanan ternak akan mempengaruhi
ketersediaan bahan pakan yang sedikit sehingga dapat menyebabkan harga pakan
mahal dan ini hampir 70 persen biaya yang dikeluarkan dalam usaha peternakan
yaitu biaya pakan dan ini merupakan biaya utama. Peternakan dengan skala industry
dapat menekan harga pakan yang tinggi, karena selain memproduksi daging mereka
juga memproduksi harga pakan sendiri, dan juga menjual pakan kepada peternak
kecil dengan cara memonopoli harga, yang secara tidak langsung dapat memainkan
harga dipasaran. Harga pakan yang mahal dapat diminimalisir jika dengan cara
membuat formulasi ransum sendiri. Ilmu penyusunan ransum dapat berasal dari
penyuluhan dari pemerintah maupun dari mahasiswa yang turun langsung ke
lapangan, sehingga peternak mampu membuat pakan ternak dengan menggunakan
limbah-limbah pertanian atau rumah tangga dengan biaya yang lebih sedikit.
Program kebijakan kredit yang belum tepat sasaran juga
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan dalam swasembada daging.
Banyak program kredit yang dilahirkan oleh pemerintah yang dapat dimanfaatkan
oleh para peternak diantaranya kredit ketahanan pangan dan energy (KKPE),
kredit usaha pembibitan sapi (KUPS), penguatan modal usaha kelompok ( PMUK ).
Pemanfaat program kredit ini hanya sebagian kecil petani yang dapat menikmati,
selebihnya dimanfaatkan oleh peternak-peternak besar yang akhirnya akan
menguntungkan pihak yang besar-besar saja. Peternak-peternak besar mampu
membayar bunga yang sangat tinggi, sedangkan peternak kecil kurang mampu dalam
hal cicilan kredit. Ini merupakan ruang pemisah diantara peternak kecil dengan
peternak besar. Tingkat bunga yang besar akan memberatkan petani kecil karena
selain membayar cicilan peternak kecil juga memikirkan biaya operasional untuk
ternak mereka. Selain itu juga prosedur yang sangat berbelit-belit jika
peternak kecil akan melakukan peminjaman ke pihak perbankan. Seharusnya pihak
perbankan mempermudah akses peminjaman dengan bunga yang sangat kecil, agar
supaya dapat membantu perekonomian peternak kecil.