KAJIAN KEBIJAKAN
PEMERINTAH DALAM PROGRAM KREDIT USAHA PEMBIBITAN SAPI
(KUPS) TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI RAKYAT
Peternakan sebagai salah satu sub sektor pertanian merupakan
bagian integral dari keberhasilan sektor pertanian di Indonesia. Visi
pembangunan peternakan adalah pertanian berkebudayaan industry dengan landasan
industry, produktivitas dan berkelanjutan. Peternakan masa depan diharapkan
pada perubahan mendasar akibat perubahan ekonomi global, perkembangan teknologi
biologis, berbagai kesepakatan internasional, tuntutan produk, kemasan produk
dan kelestarian lingkungan. Kongkritnya peternakan Indonesia akan bersaing
ketat dengan peternakan Negara lain bukan saja merebut pasar internasional tapi
juga dalam merebut pasar dalam negeri Indonesia.
Sub sektor peternakan merupakan sub sektor strategis dalam
upaya pemenuhan kebutuhan pangan, disamping sebagai mata pencarian sebagian
besar masyarakat pedesaan. Namun demikian usaha peternakan khususnya sapi
potong sampai saat ini masih menghadapi banyak kendala, antara lain
produktivitas masih rendah yang ditunjukkan dari jarak beranak (calving interval) lebig dari 21 bulan,
perkawinan (service/conception) lebih dari 3 kali, angka kematian anak sapi
tinggi, pemotongan sapi betina produktif serta kuantitas pakan yang rendah
(Dirjen Budidaya Ternak Ruminansia dalam Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2010). Hal ini mengakibatkan pengembangan populasi sapi potong
menjadi lambat dibandingkan dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia,
sehingga impor sapi dan daging cukup tinggi. Pasokan daging sapi dalam negeri
untuk kebutuhan konsumsi baru mencapai sekitar 60 persen, karena itu dalam
rangka pemenuhan kebutuhan daging dan susu dalam negeri diperlukan peningkatan
produksi melalui penambahan jumlah bibit sapi (Dirjen Peternakan, 2009).
Dalam rangka mencapai pembangunan peternakan dewasa ini
telah diarahkan pada pengembangan peternakan yang lebih maju dengan pendekatan
kewilayahan yaitu mengkonsentrasikan pengembangan sentra produksi pada
wilayah-wilayah tertentu, penggunaan teknologi tepat guna dan penerapan
landasan baru yaitu efisiensi, produktivitas dan suistainability. Upaya
pemerintah yang telah dilakukan dalam rangka mengatasi
permasalahan-permasalahan tersebut telah dilakukan dengan menggunakan beberapa
strategi yaitu (a) intensifikasi program inseminasi buatan, (b) impor sapi
dalam rangka meningkatkan populasi ternak, (c) meningkatkan pengetahuan formal
mupun informal bagi petani ternak maupun petugas penyuluh lapangan dan ( d )
memberikan kemudahan dalam rangka pengembangan sapi potong. Kebijakan tentang
kemudahan dalam pengembangan ternak sapi antara lain kebijakan permodalan
usahatani ternak melalui program kredit usahatani ternak dengan memperhatikan
pembebanan tingkat bunga kredit yang ringan.
Berangkat dari lambatnya usaha pembibitan sapi oleh peternak
serta usaha pembibitan sapi tidak menarik kalangan pelaku usaha karena dianggap
kurang menguntungkan dan memerlukan waktu lama, maka diluncurkan program Kredit
Usaha Pembibittan Sapi (KUPS). Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
40/Permentan/PD.400/9.2009 (Dirjen Peternakan, 2009), indikator keberhasilan
pelaksanaan usaha pembibitan sapi melalui KUPS antara lain; (a) peningkatan
jumlah populasi sapi, (b) terbangunnya industry dan kelompok pembibitan sapi,
(c) tersalurnya kredit dan (d) terealisasinya angsuran kredit tepat waktu.
Realisasi penyerapan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS)
secara nasional hingga oktober tahun 2011 mencapai Rp 391,5 Miliar atau 10
persen dari total plafon Rp 3,91 Triliun sejak skim kredit diluncurkan tahun
2009 (Dirjen Peternakan, 2012). Lambannya penyerapan dana KUPS disebabkan belum
banyak perusahaan pembibitan sapi yang menggeluti sektor tersebut. Disisi lain,
kalangan Bank pelaksana KUPS belum memiliki database tentang kelompok-kelompok
peternak maupun koperasi yang layak dibiayai dengan kredit program tersebut.
Dalam teori difusi inovasi, Rogers (2003) mengemukakan bahwa inovasi
akan lebih cepat diterima oleh individu apabila memiliki keuntungan relative
yang lebih tinggi, lebih kompatibel, memiliki tingkat triabilitas dan
observabilitas tinggi serta tingkat kerumitan yang rendah. Apabila dilihat dari
sudut pandang inovasi, banyak faktor yang mempengaruhi cepat dan lambatnya
adopsi program KUPS sebagai suatu program baru oleh peternak. Mengacu pada
pendapat leeuwis (2006), apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh peternak sebagian
tergantung pada persepsi mereka tentang karakteristik program KUPS, persepsi
serta evaluasi terhadap berbagai konsekuensi teknis maupun ekonomis dari
keikutsertaan mereka