Dampak Kebijakan
dan Implementasi Kredit Usaha Pembibitan Sapi ( KUPS) di Tingkat Peternak Sapi
Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi bisa berjalan baik
apabila pelaksanaannya di lapangan mengacu pada standar yang sudah diterapkan.
Persyaratan yang mewajibkan penerima KUPS adalah peternak diimplementasikan
dalam bentuk penetapan peserta program dari kalangan petani yang memiliki usaha
ternak (peternak). Sebagaimana petani lain, peternak peserta KUPS tidak hanya
mengandalkan pendapatan dari satu jenis usahatani saja, melainkan
mengkombinasikan berbagai penanaman komoditas seperti padi dan palawija dengan
peternakan seperti ayam, sapi maupun kambing. Tiap jenis produksi yang berlainan
didalam suatu usahatani lazim disebut dengan cabang usaha (farm enterprise) (Mosher, 1991).
Seorang petani tidak dapat begitu saja memilih cabang-cabang
usahataninya tanpa mempertimbangkan hubungan satu sama lainnya, tetapi
kombinasi dari berbagai bidang usaha penuh dengan hasil-hasil gabungan dan
biaya-biaya gabungan. Pendapatan yang diperoleh dari berbagai cabang usahatani
bisa jadi penolong peternak peserta program KUPS, karena usaha pembibitan sapi
tidak bisa dipetik hasilnya dalam jangka waktu pendek, sehingga angsuran kredit
berupa bunga yang dibayar setiap bulannya diambil dari hasil usaha lainnya
bukan dari hasil pembibitan sapi. Untuk angsuran pinjaman pokok dibayar setiap
tahun, rata-rata peserta KUPS mengambil dana dari penjualan anak sapi/pedet,
bahkan menjual induk sapi yang seharusnya tidak diperbolehkan.
Praktek penjulan induk sapi
program KUPS ini bisa dilakukan karena induk sapi dari program KUPS tidak
dipasang microchip sesuai surat
edaran Dirjen Peternakan Nomor 12020/SE/KU.340/F/03/2010 (Dirjen Peternakan,
2010), yang mewajibkan pemasangan microchip
dalam bentuk ear tag. Ear Tag seharusnya dipasang pada telinga sapi pada
bagian kanan/kiri, dan dipasang paling lambat 3 bulan setelah realisasi ternak.
Tidak adanya pemasangan chip dilandasi beberapa alasan, yakni tidak adanya
pihak yang menyediakan microchip dan
dari pihak peternak sendiri banyak yang enggan kalau sapi mereka dipasang microchip karena sapi tidak bisa dijual
dengan mudah karena bisa dideteksi keberadaannya. Pemasangan microchip antara dilakukan untuk
melakukan monitoring terhadap sapi KUPS secara berkala, selain menjaga agar
tidak terjadi inbreeding.
Apabila dilihat dari kemampuan peternak untuk memenuhi
prosedur baku pelaksanaan produksi sapi bibit, secara realita belum diimplementasikan
secara penuh. Sebagai petani yang sekaligus beternak sapi, peserta KUPS pada
umumnya sudah berpengalaman memelihara sapi, sehingga dianggap telah memenuhi
prosedur baku pelaksanaan produksi bibit padahal mereka secara khusus belum
memiliki pengalaman dalam produksi bibit sapi. Pengusahaan ternak selama ini
masih berdasarkan kebiasaan yakni pola tindakan peternak sehari-hari. Kebiasaan
tersebut bisa diperoleh secara historis dari keputusan di masa lalu (Leeuwis,
2006).
Sebagaimana
halnya dengan petani di pedesaan, peserta KUPS sebelumnya juga pernah
memelihara sapi selain bertani. Namun demikian, pemeliharaan sapi yang
dilakukan bertujuan untuk menggemukkan bukan untuk pembibitan. Dari
pemeliharaan sapi berdasarkan pengalaman/kebiasaan yang sudah berlangsung lama,
bukanlah jaminan untuk berhasil dalam upaya peternakan pembibitan sapi.
Pemahaman ini yang perlu ditekankan
pada semua elemen yang terlibat dalam pengelolaan program KUPS. Keberhasilan
program KUPS didukung oleh ketepatan dan kelancaran penyaluran dan pengembalian
kredit program, keberhasilan praktek budidaya pembibitan sapi oleh petani serta
evaluasi dan monitoring dalam implementasinya.
Pembibitan sapi potong merupakan usaha pemeliharaan ternak
dengan tujuan untuk menghasilkan anak (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2010). Faktor penting dalam pembibitan sapi adalah factor
bibit/induk disamping manajemen pemeliharaan yang baik. Dalam program KUPS sapi
yang dipakai sebagai bibit adalah sapi betina bunting/siap bunting, yang
berasal dari sapi impor, sapi turunan impor dan sapi lokal. Pengadaan sapi
impor dan turunannya untuk menambah populasi sapi, sedangkan sapi lokal dalam
jumlah terbatas dan hanya pada wilayah sumber bibit sapi lokal dan diutamakan
sapi Bali (Peraturan Menteri Pertanian, 2009).
Permasalahan pembibitan sapi potong adalah menurunnya
kesuburan atau berkurangnya fertilitas induk sapi yang ditandai dengan
perkawinan lebih dari 3 kali tidak terjadi kebuntingan, birahi kembali
terlambat, siklus birahi tidak teratur, tandatanda birahi secara berkala tidak
tampak, serta keluar cairan tidak normal pada alat kelamin seperti darah atau
nanah. Dengan demikian kemampuan pemilihan induk menjadi suatu keharusan
apabila ingin mengembangkan bibit sapi secara baik. Terkait dengan faktor
bibit, perlu pemahaman fase reproduksi sapi betina dan proses reproduksi. Dalam
manajemen pemeliharaan, peternak perlu melakukan pencatatan reproduksi berupa
waktu birahi, berapa kali dikawinkan, waktu mulai bunting, tanggal melahirkan,
jumlah anak dan jenis kelamin dan bunting kembali setelah melahirkan serta
permasalahan penyakit selama proses kebuntingan serta biaya yang dikeluarkan.
Peternak seharusnya memperhatikan ketepatan waktu untuk mengawinkan sapi
birahi. Sebagai contoh, apabila waktu birahi pagi hari, saat terbaik untuk
mengawinkan adalah hari itu juga. Apabila waktu birahi sapi pada siang hari,
waktu terbaik untuk mengawinkan pada sore hari atau pada pagi hari berikutnya,
waktu yang tepat untuk mengawinkan sapi adalah pada siang hari (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2010)
Dari aspek kemitraan, implementasi aspek ini juga belum bisa
dilaksanakan. Sesuai pedoman pelaksanaan KUPS, rekomendasi akan diberikan
kepada pelaku usaha yang menyediakan sapi untuk usaha pembibitan sapi sesuai
persyaratan prosedur baku dan melakukan kemitraan. Pola kemitraan bisa dalam 3
bentuk, yaitu: (a) Kemitraan antar perusahaan/koperasi dan kelompok/gabungan
kelompok yang keduanya peserta KUPS, (b) kemitraan antar perusahaan/koperasi
peserta KUPS yang memberikan gaduhan ternak sapi kepada kelompok/gabungan
kelompok, serta (c) kemitraan antara kelompok gabungan/gabungan kelompok
peserta KUPS dengan perusahaan/koperasi sebagai penjamin (Dirjen Peternakan,
2009). Hal ini sulit diterapkan, karena tidak adanya perusahaan pembibitan
maupun koperasi yang bergerak di bidang pembibitan maupun koperasi yang
bergerak dibidang pembibitan sapi yang bisa dijadikan mitra kelompok/gabungan
peternak.