Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial. Implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani semata, tetapi sekaligus juga dimaksudkan untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal dan Sudaryanto, 2008).

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana dan gamblang tentang syarat pokok dan syarat pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat pokok pembangunan pertanian meliputi: 
(1) adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani, 
(2) teknologi yang senantiasa berkembang, 
(3) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, 
(4) adanya perangsang produksi bagi petani, dan 
(5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontiniu.

Adapun syarat pelancar pembangunan pertanian meliputi: 
(1) pendidikan pembangunan, 
(2) kredit produksi, 
(3) kegiatan gotong royong petani, 
(4) perbaikan dan perluasan tanah pertanian, dan 
(5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. 

Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran dan langkah kebijakan yang disarankan oleh Mosher. Pembangunan pertanian di Indonesia dilaksanakan secara terencana dimulai sejak Repelita I (1 April 1969), yaitu pada masa pemerintahan Orde Baru, yang tertuang dalam strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum pembangunan Jangka Panjang (PUPJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019).

Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang semuanya dititikberatkan pada sektor pertanian sebagai berikut:
1. Repelita I: titik berat pada sektor pertanian dan industri pendukung sektor pertanian.
2. Repelita II: titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
3. Repelita III: titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
4. Repelita IV: titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV.

Menurut Suhendra (2004) di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri penghasil sarana produksi peratnian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal. Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 40 persen, sementara itu serapan tenaga kerja pada sektor pertanian mencapai lebih dari 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. Kebijakan untuk menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai dengan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang dan Syafa’at, 2000).

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru telah membawa beberapa hasil.  Pertama, peningkatan produksi, khususnya di sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yang relatif murah, memberikan kontribusi terhadap 6 proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah meningkatkan penerimaan devisa di satu pihak dan penghematan devisa di lain pihak, sehingga memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada tingkat tertentu sektor pertanian telah mampu menyediakan bahan-bahan baku industri sehingga melahirkan agroindustry. Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis.  Akibatnya, proteksi besar besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.

Menurut Sudaryanto et al (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan dengan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan pertanian berdasarkan pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini mempunyai beberapa kelemahan mendasar, yaitu: 
(1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, 
(2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal dan spatial berbagai kegiatan ekonomi, dan 
(3) kurang memperhatikan aspirasi dan pendapatan petani.

Oleh karena itu, pengembangan komoditas seringkali sangat tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani. Menyadari akan hal tersebut diatas, maka pendekatan pembangunan pertanian harus diubah dari pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis.  Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Memasuki era globalisasi yang dicirikan oleh persaingan perdagangan internasional yang sangat ketat dan bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan berbagai proteksi lainnya.  Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien merupakan pijakan utama bagi kelangsungan hidup usahatani.  Sehubungan dengan hal tersebut, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian. Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah dan kebijakan serta pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian dalam struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi dan kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian.  Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa, bahkan yang berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital.  Namun demikian, ketika krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yang menghasilkan kesengsaraan dan penderitaan rakyat, maka Indonesia kembali menjadikan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005).

Peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor pertanian pada saat krisis ekonomi dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional.  Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan tentang pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) sebagai berikut:
1. Sektor pertanian masih tetap sebagai penyerap tenaga kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi masalah pengangguran. 
2. Sektor pertanian merupakan penopang utama perekonomian desa dimana sebagian besar penduduk berada.  Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian paling tepat untuk mendorong perekonomian desa dalam rangkameningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan.
3. Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok penduduk, sehingga dengan akselerasi pembangunan pertanian maka penyediaan pangan dapat terjamin.  Langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan pangan pada pasar dunia.
4. Harga produk pertanian memiliki bobot yang besar dalam indeks harga konsumen, sehingga dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karena itu, akselerasi pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor dan mengurangi impor produk pertanian, sehingga dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran.
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu meningkatkan kinerja sektor industri.  Hal ini karena terdapat keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi.